Libidosophy dan Berahi-berahi Spiritual

Dalam bukunya yang bertitel Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Yasraf Amir Piliang coba mengurai kelindan antara kapitalisme, tubuh dan pornografi, dengan satu tarikan istilah yang ia sebut "libidosophy". Bagi saya, istilah ini sangat menggelitik tapi sekaligus menohok dengan telak, tepat ke titik akal sehat. Bagaimana mungkin diksi sophy, yang bermakna kebijaksanaan, bisa bersanding manis dengan libido: satu kata yang acap berdekatan dengan dunia esek-esek dan sering dikonotasikan dengan prilaku amoral. Dengan kata lain, istilah itu seolah kontradiktif sekaligus ambigu. Tapi, apa yang tidak membingungkan di jagat informasi ini?

Tulisan singkat ini tidak akan membahas diskursus kapitalisme dengan seluruh dosa turunannya, apalagi kaitannya dengan tubuh dan pornografi yang sungguh seksi sekali. Catatan pengantar ini hanya berusaha melakukan otokritik terhadap ikhtiar perbincangan mengenai koleksi pengetahuan yang over load, tapi sangat nihil dalam praktiknya: bahwa orang yang berilmu itu bebannya berkali-kali lipat lebih berat ketimbang mereka yang pikirannya “kosong”. Tapi jika berhasil, derajatnya akan terangkat lebih mulia ketimbang yang tak berilmu. Singkatnya, catatan ini adalah media untuk menghitung kontradiksi-kontradiksi dan luapa-luapan hasrat yang sering tak terkendali.

Untuk menelanjangi kontradiksi dan anomali meruahnya informasi yang melahirkan libidosophy, kita mulai dari pertanyaan sederhana: adakah korelasi linear, atau semacam kepastian kausalitas, bahwa seseorang yang kognitifnya berubah (baca: bertambah), otomatis afeksi dan psikomotornya juga berubah (baca: lebih baik)? Mestinya jawabannya adalah iya, tapi tentu saja faktanya kerap berkata tidak.

Saya jadi teringat pernyataan menarik Manuel Castell dalam The Rise of the Network Society, sebaimana dikutip oleh Muji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed.) dalam Hermeneutika Pascakolonial-nya, bahwa "masyarakat kita semakin terstruktur seputar oposisi dwi-kutub, yaitu kutub jaringan dan kutub diri, the Net and the Self". Statemen itu bukan pepesan kosong, melainkan sudah menjadi fakta objektif yang menggerogoti masyarakat di jagat informasi ini. Kita kehilangan titik ordinat psikologis dan sosial di tengah-tengah percepatan yang berlangsung terus-menerus, di mana diam sama dengan mati. Maka, istilah yang muncul tidak hanya libidosophy, tapi juga diperparah oleh dromosophy, “yakni pengembaraan pemikiran dalam upaya mempercepat tempo kehidupan, tempo pergantian informasi, tempo pergantian produk dan tempo pergantian pemikiran itu sendiri”, tulis Yasraf dalam buku yang sama, pada sub bab Libidonomic: Ekonomi Pasar Bebas Libido.

Pada poin inilah, apa yang sudah diingatkan Rasulullah tentang “mereka yang pandai menumpuk ilmu, tapi tidak lebih mendekatkan diri pada hidayah Allah”, menemukan relevansinya. Kita sudah tidak paham lagi untuk apa jibunan informasi terus menerus kita akses, untuk kepentingan siapa, seberapa besar manfaat dan merusaknya. Bahkan kita, generasi hibrid hasil pencangkokan teknologi ini, dengan entengnya melakukan Broadcast BBM dan share melalui medsos lainnya tanpa mengetahui dan mengklarifikasi lebih dulu valid false-nya, benar salahnya, baik buruknya. Kita dikepung oleh hasrat untuk tampil seolah-olah eksis. Sebab, "dunia dan hidup kita", kata Castell dalam The Power of Identity-nya," sedang dibentuk oleh trend-trend yang saling bergesekan, yaitu globalisasi dan identitas".

Dalam gesekan dan kompetisi pengakuan akan identitas, diktum agung Descartes “aku berpikir, maka aku ada” sudah basi, ketinggalan kereta, out of date. Yang ter-update adalah “aku update status, maka aku ada”. Berkicaulah di Twitter, maka “hasil refleksimu” akan jadi tranding topic. Upload-lah video erotismu di Youtube, maka namamu bakal melejit jadi artis. Sewalah para wartawan untuk meliput aktivitasmu, maka citramu bakal dieleu-elukan dan kalau bernasib mujur, namamu bakal jadi media darling. Singkatnya, terma update sudah jadi ajaran luhur, penentu eksistensi, bahkan parameter baik-buruk dan benar-salah. Hal ini diperparah oleh sistem demokrasi yang terdistorsi dan dijadikan lahan prostitusi.

Sesungguhnya, pencaraian hakikat eksistensi diri adalah persoalan spritualitas yang sangat promordial sekali. Itu baik untuk menemukan kesejatian diri. Akan tetapi, di era korban informasi ini, spritualitas direduksi semata-mata pengembaraan psikologis yang parsial dan temporal. Barangkali itulah kenapa bisnis motivasi dan pelatihan-pelatihan yang berdimensi spiritual sangat digandrungi, meski efeknya kerap tak bertahan lama, cepat berlalu begitu saja. Namanya juga berahi yang disulut oleh logika industri, mesin hasrat kata Guattari. Libidosophy yang tak terkendali, karena paradigmanya adalah dromosophy. Ah, kasihan sekali. Absurd setengah mati.

Sesungguhnya pula, ada banyak absurditas yang bergentayangan di ruang-ruang pikiran, yang hendak saya beberkan dalam bentuk tulisan. Sungguh, saya kadang dibuat putus asa memikirkannya. Saya belum tahu solusinya. Tapi karena ini hanya pengantar, ya namanya juga pengantar, dengan sangat terpaksa saya simpan dulu agar menjadi kenangan. Padahal aslinya ya karena malas gak ketulungan. Haha.

Surabaya, 27 April 2015 Saat perut keroncongan dan aroma Siomai mengganggu indra penciuman

Post a Comment

Previous Post Next Post