“Festival Hijrah” di Layar Kaca

gambar: islami.co

Hari-hari ini, untuk tahu persis bagaimana kapitalisme bekerja sempurna dalam menunggangi agama, barangkali bisa kita saksikan puncak ironinya melalui layar kaca di rumah kita. Ada banyak kanal-kanal tivi yang menyuguhkan paradoks, menjajakan lelucon, bahkan pada batas ekstrem menampilkan kekonyolan dan kebodohan: betapa terma-terma agama dengan begitu mudah diobral, diindoktrinasi, dan dikapitalisasi sedemikian massif demi meraup popularitas. Singkat kata, agama diperkosa agar tunduk pada hukum komoditas.
 
Fenomena penuh paradoks itu, salah satunya, bisa kita kaji dengan menelisik terma “hijrah” yang belakangan sangat gencar difestivalkan di media pertelivisan kita, dimassifkan oleh mereka yang dikenal dengan sebutan “ustadz-ustadz hijrah”, dan menjadi main display dalam akselerasi dakwah via media sosial bagi masyarakat milenial. Meski belum ada kajian serius dan kesepakatan epistemologis mengenai apa, siapa, dan bagaimana sesungguhnya ustadz hijrah ini, tapi paling tidak, istilah ini sudah terlalu identik dengan ustadz-ustadzah yang menggelorakan diksi hijrah sebagai focus keyphrase dakwahnya, yang akhir-akhir ini menyita perhatian para pemerhati perkembangan dakwah dan media populer.

Dari “festival hijrah” ini kemudian lahir istilah-istilah turunan yang tak kalah menggelikan: artis hijrah, preman hijrah, dan hijrah-hijrah lainnya. Seolah-olah kata hijrah merupakan merek dagang yang bisa dipatenkan untuk siapa saja sesuai kepentingan pemilik perusahaan, dan pada gilirannya menjadi garis damarkasi yang “serba auto”. Bahwa siapa saja yang telah meraih gelar hijrah otomatis menjadi pribadi yang sholih dan pantas diteladankan, dan karenanya dia berhak menjadi corong dalam urusan-urusan keagamaan. Maka, pada titik ini kita layak bertanya dengan sarat keheranan: bagaimana mungkin seorang seleb yang baru kemarin sore belajar agama, baca Qur’an belepotan, nulis aksara Arab berantakan, lalu tiba-tiba menjadi seorang ustadz dan ustadzah, digandrungi masyarakat, menjadi idola dan panutan, dan parahnya dijadikan sosok identifikasi ideal dalam beragama?

Mungkin jawabannya bisa kita lacak dari sisi psikologis masyarakat urban yang haus siraman ruhani dan kering akan nilai-nilai religiusitas. Rutinitas harian yang menjemukan, aktivitas kantor yang menekan, serta problematika spiritual yang kerontang, pada gilirannya menyebabkan mereka kebingungan orientasi dan kebuntuan arah. Identitas keberagamaan mereka pelan-pelan dipertanyakan, dan karenanya mereka mencari media paling instan untuk memperdalam ilmu agama mereka. Tentu saja, media paling memungkinkan adalah dengan social media.

Pada titik inilah, teori ekonomi mengenai suplay and demand menemukan relevansinya yang pas dan memusakan para pemuja kapital. Bahwa tingginya minat masyarakat kelas menengah akan ruang-ruang yang bisa mengembalikan keterasingan mereka secara spiritual bisa dihadirkan melalui media sosial secara ekstravagan. Ibarat pepatah, pucuk dicinta ulam tiba. Pelaku industri sangat memahami logika ini: agama adalah barang paling berharga untuk diperjual-belikan. Dan sosok paling vital untuk menjajakan dagangan adalah para selebriti. Maka, istilah hijrah menjadi mantra paling mujarab untuk mninabobokkan masyarakat yang kebingungan dan kehausan. Lahirlah ustadz-ustadzah karbitan, prematur, dengan harapan bahwa komoditas industri dakwah laku keras di pasaran.

Dengan pangsa pasar yang menjanjikan ditambah dengan agen-agen marketing dakwah yang menawan, maka pelaku industri dakwah di layar kaca gemar membranding ustadz hijrah. Tidak penting kualifikasi kepribadian si ustadz bagiamana, kualitas keilmuannya seperti apa, selama ia mampu menjadi magnet bagi masyarakat yang gemar berselfi-ria, maka semuanya sah-sah saja. Tak heran jika mereka sering pamer religiusitas artifisial, mengabadikan momen ketenaran bareng sang Ustadz, lalu mengunggahnya ke akun media sosial mulai dari facebook, twitter dan tentu saja instagram. Ya, ‘Ustadz Hijrah’ memang isntagramable dan karena itu ia memiliki follower yang berjibun, melimpah ruah, dan sangat cocok untuk menjadi bintang iklan.  

Lucunya, pemaknaan religiusitas bagi mereka masih seputar jilbab syar’i, jenggot sunnah, celana cingkrang, umrah bareng travel berlabel halal dan simbol-simbol jasadiyah dari agama lainnya. Kesalihan tidak menjadi fakta, tetapi hanya semata-mata citra. Betapa mengerikannya komodifikasi agama dengan industri kapitalisme sebagai kendaraan utamanya.

Konon, sejak abad ke 11 Masehi, Ibnu Rusyd, filusf agung dari Andalusia itu telah mewanti-wanti, bahwa "at-tijârah bi al-adyân hiya at-tijârah ar-râbihah fî al-mujtam’ât allatî intasyara fîhâ al-jahl”: komoditas paling menggiurkan di tengah masyarakat yang bergelimang kebodohan adalah agama. Jika kita hendak mengelabui manusia cuti nalar, cukup dengan mengemas segala kebatilan dengan bungkus agama, maka mereka akan manggut-manggut kepala.

Barangkali kapitalisme telah menggiring kesadaran manusia ke titik paling rendah. Dulu, seorang kiai kampung diangkat oleh masyarakat lantaran kualifikasi kepribadian dan kedalaman spritualitas serta keilmuannya. Hari ini, ketika makhluk bernama rating menjadi parameter seseorang, ustadz panutan bisa diorbitkan oleh pelaku industri. Hanya dengan modal jenggot, baju koko ala Thaliban, seupil hafalan ayat dan hadis, tambahan nama nisbah kearab-araban, serta simplifikasi makna hijrah, siapa saja boleh menjadi corong dan panutan dalam beragama, sesuatu yang sangat prinsip dari kehidupan manusia.  

Ya, mungkin masyarakat kita memang sedang kehilangan keseimbangan. Arus informasi bergulir bagaikan air bah, menghantam nalar-nalar yang kebingungan, dan masyarakat kita tidak memiliki kepekaan dan filter terhadap kata-kata. Informai hadir tanpa konfigurasi. Terma hijrah yang sesungguhnya merupakan ajaran luhur dalam Islam, dinistakan maknanya sesuai selera pasar. Hanya karena sebelumnya pernah menjadi artis-seleb, lalu dipacak-i dengan jilbab bersyariah, tiba-tiba jadi ustadzah kondang. Hanya karena muallaf atau pernah merasa tersesat, maka ketika tobat lalu dinobatkan sebagai malaikat.

Dunia kita barangkali memang telah jungkir-balik. Yang benar-benar ulama’ dengan fakta integritas keilmuan, ketawadhu’an dan kewara’annya diperhinakan, disesat-sesatkan, diliberal-libealkan. Sementara anak bau kencur yang kelimuannya hanya hasil kulakan dari Mbah Google, malah dikultuskan dan dijadikan panutan. Yang benar dicampakkan, yang palsu digadang-gadang. Di tengah industri tanpa batas, agama menjadi pasar bebas. Siapa saja boleh menjual ‘apa dan siapa’.

Maka, sudah saatnya kita waspada terhadap ultimatum hadis Rasulullah tentang tahun-tahun penuh tipu daya, di mana kebenaran dan kebatilan saling jungkir balik. Kepalsuan dianggap kebenaran, pengkhianat diklaim amanah. Pada saat itu, si Ruwaibidhah sok pede dan antang berkata-kata, begitu sabda Rasulullah. Sahabat bertanya: “Siapakah Ruwaibidah itu, ya, Rasul?” Baginda Rasul menjawab: “Ar-rajul at-tâfah yatakallam fi amri al-‘âmmah”. (Al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘alâ as-Shahîhain, bab Kitâb al-Fitan wa al-Malâhim, 466/4) 

Ya. Si Ruwaibidhah adalah orang bodoh yang berbicara mengenai urusan masyarakat luas. Pemahaman keagamaannya hanya seujung kuku, tapi berlagak sok tahu. Penguasaan keilmuannya tak seberapa, tapi sok berfatwa. Duh, njelehi tenan, kata orang Jawa.  

Post a Comment

Previous Post Next Post